Ditawari Kontrak di PSMS Medan, Kiper Asal Jabar Malah Dibawa ke Kamboja
Awalnya, hanya satu unggahan di Facebook yang membuat mata Rizki berbinar. Sebuah tawaran lowongan pemain sepak bola di PSMS Medan, lengkap dengan janji kontrak setahun. Bagi remaja 18 tahun yang setiap hari memeluk mimpi jadi pesepakbola profesional, itu seperti tiket emas dari langit.
Tanpa banyak curiga, Rizki berangkat dari Bandung menuju Jakarta pada 26 Oktober 2025. Di balik keberangkatan itu, ayahnya, Dedi Solehudin, memendam rasa was-was yang tak sepenuhnya bisa ia ungkapkan. “Diiming-imingi selama tiga bulan dikasih iPhone,” ujar Dedi, suara getirnya.
Rizki, yang polos dan penuh harap, mengikuti instruksi sang agen. Katanya, setelah Jakarta, ia akan diterbangkan ke Medan. Lalu, dari Medan menuju Bali. Semua terdengar rapi, meyakinkan, seolah alur perjalanan seorang calon atlet.
Namun kenyataan ternyata jauh lebih gelap dari yang dibayangkan.
Alih-alih menuju Medan, langkah Rizki justru diputar-putar. Pesawat yang ia tumpangi melewati batas negara—bukan ke Bali, bukan ke Medan—melainkan ke Malaysia. Dan dari sana, ia langsung dibawa ke Kamboja.
Tiga hari setelah hilang kontak, pada 29 Oktober 2025, telepon sang ayah akhirnya berdering pelan. Di balik layar, suara Rizki bergetar.
“Pah... Aa kejebak.”
Dedi terdiam. “Kejebak gimana?”
“AA dijebak, pah.”
Sejak percakapan itu, potongan-potongan penderitaan Rizki mulai tersingkap. Setibanya di Kamboja, ia baru sadar bahwa tak ada kontrak sepak bola, tak ada pelatih menunggu, tak ada lapangan hijau. Yang ada hanyalah ruangan-ruangan gelap penuh target pekerjaan yang mustahil dipenuhi—modus TPPO yang kini banyak menjerat anak muda Indonesia.
Setiap hari, jika target tak tercapai, hukuman datang tanpa ampun.
Push up berkali-kali sampai tubuhnya gemetar. Mengangkut galon bolak-balik dari lantai 1 hingga lantai 10. Tubuhnya yang dulu segar kini mengering; rambutnya habis, wajahnya tirus. “Aa tiap hari disiksa,” ujar Dedi, menahan tangis yang nyaris pecah.
Dengan segala ketidakberdayaan yang ada, Dedi akhirnya meminta pertolongan. Kepada Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, ia berharap agar putra kesayangannya itu bisa pulang ke tanah air.
Gubernur Dedi langsung merespons. Ia mengaku baru mengetahui ada warganya yang terjebak bekerja sebagai scammer cinta di Kamboja—modus TPPO yang kian marak. “Ya sudah, kita tangani. Saya baru dengar sekarang malah itu,” ujarnya.
Ia menegaskan, Jawa Barat sejak awal sudah memperingatkan warganya agar tidak mudah tergiur janji-janji manis bekerja di luar negeri tanpa lembaga resmi. “Kalau perlu saya keluarkan lagi pergub larangan warga Jabar pergi ke daerah-daerah yang rawan, yang menimbulkan penderitaan,” tegasnya.
Perdagangan orang, menurutnya, bukan lagi kasus satu-dua. Jumlahnya banyak, dan pemerintah selalu harus memulangkan korban-korban yang terlambat menyadari jebakan yang menelan masa depan mereka.
Di Bandung, Dedi masih menyimpan ponsel yang digunakan Rizki untuk meminta tolong. Pesan singkat itu terus berputar di pikirannya: *“Pah, Aa kejebak…”*
Dan hingga kini, ia masih menunggu kabar selanjutnya—menunggu keajaiban yang bisa membawa putranya pulang dalam keadaan hidup dan selamat.
#PSMS #Medan #Jabar #KDM #kiper #Kamboja

Posting Komentar