News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Sidang Korupsi Skandal Pembelian MTN, Tindak Pidana Korupsi dan TPPU yang Didakwakan JPU Perlahan Terbantahkan

Sidang Korupsi Skandal Pembelian MTN, Tindak Pidana Korupsi dan TPPU yang Didakwakan JPU Perlahan Terbantahkan

 


Sidang lanjutan skandal pembelian surat berharga berupa Medium Terms Notes (MTN) milik PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) Finance oleh PT Bank Sumut yang disebut sebut merugikan keuangan negara Rp202 miliar berlangsung super-alot. 


Nyaris tidak ada jeda ketika majelis hakim diketuai Sri Wahyuni, JPU dari Kejati Sumut Hendrik Sipahutar, tim penasihat hukum (PH) kedua terdakwa, Eva Rina, Mathilda dan Udhin Wibowo bertanya jawab dengan terdakwa Maulana Akhyar Lubis dan Andri Irvandi.


 


Keduanya secara bergantian dimintai keterangan sebagai saksi dan terdakwa lewat video conference (vidcon) di Ruang Cakra 2 Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Jumat (22/10/2020) sore.


Baik Maulana Akhyar maupun Andri Irvandi yang mendapatkan pertanyaan bertubi-tubi berangsur mengurai kusutnya perjalanan pembelian MTN 'akal-akalan' milik PT SNP melalui broker (arranger) MNC Sekuritas 2017 lalu.


Bahkan, konstruksi tindak pidana korupsi maupun pencucian uang (TPPU) sebagaimana didakwakan JPU dari Kejatisu, perlahan terbantahkan.


Pasalnya, menurut Maulana, sudah ada lembaga negara yang bertugas mengawasi jasa keuangan di sektor perbankan serta nonperbankan seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), termasuk mengenai benar tidaknya isi jaminan yang diperbuat PT SNP ketika menjual MTN tersebut ke BNI. Ada juga lembaga audit dalam hal ini Deloitte.


"Faktanya adalah PT SNP selaku pemilik MTN kemudian gagal bayar ke Bank Sumut dan data jaminan yang disampaikan ke kami ternyata 'bodong'. Itu tugasnya mereka mengawasinya. Jadi siapa lagi yang kita percayai Yang Mulia?" timpal Maulana menjawab cecaran pertanyaan hakim anggota Felix Da Lopez.


Ketika dicecar hakim ketua Sri Wahyuni mengenai dakwaan JPU bahwa dirinya sebagai Pimpinan Divisi Treasury yang bertanggungjawab, menurut Maulana, tidak ada prosedur sebagaimana diamanatkan pada Kepdir No 531 Tahun 2004 yang dilanggar.


Malah faktanya, morandum Nomor 258 yang diminta Divisi Treasury diteruskan ke Divisi Kredit dan keluar lah issuer limit (batas maksimal pemberian kredit) kemudian disetujui oleh Direktur Bisnis dan Syariah TM Jefry dan seterusnya oleh Direktur Utama Edi Ritzlianto.


Sementara, menjawab pertanyaan PH-nya, Eva Nora, terdakwa Maulana Akhyar menguraikan, saat itu ada dana sekitar Rp8 triliun standby di Divisi Treasury, Maulana menjawab bahwa dirinya selalu profesional dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian seperti pertimbangan mikro dan makro sebagai perusahaan bank daerah sebelum mengambil keputusan menanamkan investasi.


"Saya menyesal Yang Mulia. Menyesal bukan karena merasa bersalah. Menyesal karena keluarga saya menerima pemberitaan atau rumor yang tidak benar tentang saya . Transfer dari Irvandi Rp514 juta 10 November 2017 adalah hasil penjualan tanah Saya di November 2015. Kacamata bisnis dikenal istilah saling percaya. Dua tahun kemudian Irvandi bisa bayar," jelas Maulana.


Dilanjutkannya, sepanjang karier sejak 2006 di Bank Sumut dirinya tidak pernah cacat. Sempat ada keuntungan (penjualan di bursa saham) sebesar Rp30 miliar.


"Bank Sumut dalam perkara ini adalah korban dari PT SNP. Bank Daerah lain seperti BPD Jambi, Sulselbar, NTT dan perbankan lain Bukopin, Sinar Mas, Ganesha juga jadi korban. Saya masih berstatus pegawai Bank Sumut, Yang Mulia," pungkasnya.


Sidang dilanjutkan pekan ini agenda mendengarkan saksi meringankan kedua terdakwa. (*)

Tags

Posting Komentar