Sejarah Rujak Simpang Jodoh Tembung, Sejak 3 tahun Setelah Agresi Militer Belanda 1
Ulekan bumbu rujak Simpang Jodoh Tembung dicampur sedikit kacang dan pisang muda. Dipastikan menggugah selera. Apalagi ditambah potongan buah segar. Tapi, tahukah kalian sejarah rujak Simpang Jodoh Tembung?
Menurut salah seorang pedagang, Nurliati (60). Buyut suaminya dulu petugas pos di PTPN IX, sebelum beralih ke PTPN II. Ativitas pedagang rujak sudah dimulai 1950-an. Atau tiga tahun setelah Agresi Militer Belanda 1.
“Saat itu lokasi ini gelap karena tidak ada penerangan. Jadi tempat ini menjadi pertemuan janda dan duda yang tinggal di daerah perkebunan,” kenangnya.
Karena tidak adanya penerangan, para pedagang rujak yang menggunakan gerobak sorong hanya menggunakan penerangan dari lampu sentir. Yaitu lampu yang dibuat dengan botol berisi minyak tanah ditaruh sumbu.
Suasana temaram ini pun ditambah beberapa kursi yang disediakan pedagang seolah mendukung pertemuan dari pasangan tadi yang tak jarang berujung pada pernikahan.
Jangan bayangkan bagaimana teknisnya muda mudi waktu itu tepe-tepe (tebar pesona). Bisa jadi ada yang ngepek pakai lagu The Beatles atau Elvis Presley.
Di bawah sinar lampu sentir, dan rembulan kala malam cerah, pasti membuat penampakan semakin ganteng dan cantik. Nggak perlu pakai bedak tebal. Yang penting wangi.
Kegiatan ini pun berlanjut hingga 1980-an meskipun pelakunya bukan janda dan duda lagi, tapi gadis dan lajang.
Gubernur legendaris di Sumut, Marah Halim Harahap, pernah menyumbangkan Rp500.000, untuk pedagang rujak Simpang Jodoh.
Namun kini, keindahan cerita tadi sedikit terusik. Pedagang rujak Simpang Jodoh Tembung semakin tergencet kios kios moderen. Membuat lalu-lintas semakin sempit.
Untungnya, di malam hari, para pedagang rujak tetap menggunakan lampu sentir. Sedikit mengobati kakek nenek kita yang ingin bernostalgia di sana.
Cita Rasa Rujak Simpang Jodoh Tembung
Kalau mau mencoba, pedagang sudah mulai berjualan pukul 15.00 WIB. Rasanya maknyus. Porsinya bisa untuk dua orang.
Rujak Simpang Jodoh memiliki rasa yang khas. Yaitu pada bumbu yang terasa kelat di lidah. Sensasi itu sendiri ditimbulkan dari buah pisang batu yang ditumbuk bersamaan dengan bumbu-bumbu yang digunakan. Resep yang digunakan para pedagang rujak yang dulunya didominasi masyarakat Melayu.
Jangan ragukan kebersihan dan kesegaran buahnya. Karena setiap akan dijual, buah yang barusan dipetik, selalu dibersihkan.
Rujak Simpang Jodoh sendiri menawarkan dua kategori, yaitu Rujak Ulek dan Rujak Bebek (tumbuk, bahasa Jawa). Harganya, dulu Rp13ribu. Dah lama nggak kesana.
Satu lagi pusat jajanan rujak yang tak kalah terkenal, yaitu Rujak Kolam. Terletak sedikit di tengah Kota tepatnya di seputaran kolam di depan Masjid Raya.
Seperti Simpang Jodoh, Rujak Kolam juga sudah dimulai sejak 1950-an dengan enam kios yang berjejer di sekitar kolam yang diyakini pemandian keluarga Kesultanan Deli. Ketika itu para pedagang ini juga masih menggunakan gerobak sorong. (bc)
Posting Komentar