News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Napak Tilas Bangsa Melayu di Tanah Deli

Napak Tilas Bangsa Melayu di Tanah Deli


Bangsa Melayu merupakan pengembara lautan. Pembaharu arus jalur sejarah zaman. Begitu luas daerah sempadan dan sayangnya kini seperti “kehilangan.”
Sempadan adalah batas negeri, daerah, sawah, pesisir, tanda batas, garis pancang, dan sesuatu yang dikandung dalam ideologi dan cara hidup.
Kebudayaan dan peradaban Melayu sudah pernah mencapai ufuk tertinggi. Maka, tidak ada lagi pencapaian selain reruntuhan kepunahan. Ini siklus alami dalam sejarah manapun. Pencapaian Bangsa Melayu bukan diberikan melainkan diupayakan dengan kesungguhan.
Satu di antara pencapaian tertinggi Bangsa Melayu adalah bahasa. Dan bahasa adalah pengantar atau alat untuk berpikir, menyampaikan maksud sekaligus pintu utama menuju sumber ilmu pengetahuan.
Jangan lupa, Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu. Sedangkan Bahasa Melayu berasal dari percampuran (sinkretik) dari Bahasa Arab, Persia, dan Sanskrit. Sampai kemudian hari timbul bahasa tersendiri dengan aksara Arab-Melayu sebagai lingua franca (bahasa penghubung) dalam komunikasi sehari-hari.
Secara geografis manakah batas Melayu sesungguhnya? Sekadar menyebutkan contoh, Melayu dalam pandangan awam hanya sebatas di Pulau Sumatera, Kalimantan, Brunei, dan Malaysia. Sesungguhnya tidak demikian. Silakan baca lebih banyak literatur, cakupan wilayah Melayu ini sangat luas hingga ke Madagaskar dan Asia Tenggara.
Jika membicarakan Melayu, penulis bukan sedang membela suatu bangsa atau puak Melayu melainkan sedang menyusuri sebuah Bangsa Melayu yang pernah jaya dan pernah kalah. Termasuk di dalamnya adalah Melayu Deli (Medan) kini.
Di Sumatera Utara, terdapat 3 kesultanan Melayu yakni, Melayu Deli, Melayu Langkat, dan Melayu Serdang. Masing-masing memiliki negeri dengan kesultanan tersendiri.  Kesultanan Deli secara defakto dimulai dari tahun 1632–1946. Pada masa itu, wilayah ibu kota Kesultanan Deli berada di Deli Tua dan  Labuhan Deli, Kota Medan.
Kesultanan Melayu berbentuk Monarki Kesultanan yang sultannya (raja) wajib mengetahui kaidah Ushul Fiqih: “hukum wasilah (jalan yang menuju) serupa dengan hukum tujuan” dengan menggunakan 4 sumber rujukan hukum Islam yang termuat dalam kanun (undang-undang; peraturan; hukum; kaidah; kitab undang-undang). Empat sumber hukum Islam tersebut antara lain:  Al-Qur’an, Hadis, Ijma, dan Qias.
Sebagaimana umum diketahui Kesultanan Deli berdiri tahun 1632 oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan. Sampai kini Kesultanan Deli masih ada meski tidak lagi mempunyai kekuatan politik secara absolut. Secara singkatnya, pemerintahan Monarki Kesultanan Deli dimulai dari Sultan:
  • 1632-1669 – Tuanku Panglima Gocah Pahlawan
  • 1945-1967 – Sultan Osman Al Sani Perkasa Alamsyah
  • 2005-Kini – Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alamsyah
Jika tidak menyusuri sejarah atau membaca literatur, dapatkah Melayu di Tanah Deli dikenali lagi? Baik itu melalui bahasa dialek Melayu Sumatera Timur, lanskap dan ikon kota, istana peninggalan raja-raja Melayu seperti Istana Maimun (Lihat Video) atau dengan cara mengenali manusia Melayu itu sendiri. Oleh karena Bangsa Melayu merupakan ras tersendiri hasil dari himpunan banyak bangsa.
Maka, tidaklah sulit bagi Melayu untuk menjalin pertemanan dengan bangsa-bangsa di dunia seperti Eropa, Tionghoa, India, Arab. Melayu sangat terbuka akan perubahan zaman dan ini tercermin dalam semangat pembangunan Jembatan Kebajikan. (semedan.com)



Tags

Posting Komentar